KOMPARASI PENCEGAHAN KORUPSI PADA NEGARA : SINGAPURA, MALAYSIA, THAILAND, KORSEL DAN INDONESIA




Data Corruption Perceptions Index


Sumber: Corruption Perception Index

Dari data diatas dapat kita lihat bahwa Singapura memiliki score yang begitu baik yang menunjukkan efektifnya pemberantasan tindak pidana korupsi di negara tersebut. Hal ini bertolak belakang dari Indonesia yang menunjukkan masih lemahnya pencegahan dan penanganan tindak pidana korupsi di Indonesia. 
Indonesia telah meratifikasi United Nation Convention Against Corruption (UNCAC), 2003 melalui Undang-Undang No. 7 Tahun 2006 tentang Pengesahan United Nation Convention Against Corruption, 2003 (Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Anti Korupsi, 2003). Pada putaran pertama penilaian terhadap penerapan UNCAC di Indonesia, terdapat tiga puluh dua rekomendasi yang terdiri dari lima rekomendasi terkait kriminalisasi, empat belas rekomendasi terkait penegakan hukum, tiga rekomendasi terkait ektradisi dan sepuluh terkait mutual legal assistance. Sampai saat ini baru delapan rekomendasi yang telah dipenuhi dan dilaksanakan oleh Indonesia. Salah satu rekomendasi yang belum dilaksanakan adalah kriminalisasi penyuapan di sektor privat (bribery in private sector) yang merupakan bagian dari korupsi sebagaimana diatur dalam Pasal 21 UNCAC. Hal ini menjadi catatan penting dan pekerjaan rumah bagi Indonesia untuk segera merealisasikannya.
Selain Indonesia, beberapa negara di kawasan Asia lainnya yang meratifikasi UNCAC adalah Singapura, Malaysia dan Korea Selatan. Jika dibandingkan dengan Indonesia, ketiga negara tersebut telah lebih maju dimana ketentuan Pasal 21 UNCAC telah diakomodasi dalam hukum nasional masingmasing serta telah melaksanakan penegakan hukum atas penyuapan di sektor privat. Bahkan peringkat indek persepsi korupsi ketiga negara tersebut masih lebih baik dari pada Indonesia. Hal ini menunjukan bahwa pemberatansan tindak pidana korupsi di negara tersebut tidak hanya berpusat di sektor publik tetapi juga meliputi sektor privat. 

Kebijakan Pidana Penyuapan di Sektor Privat di Indonesia 
Di Indonesia, penyuapan di sektor privat awalnya dipandang sebagai perbuatan tersebut masih dalam area privat dengan privat sehingga apabila terjadi pelanggaran terhadap hal tersebut akan diselesaikan melalui jalur hukum privat. Perbuatan pihak privat yang menyuap pihak privat lainnya dipandang sebagai perbuatan melawan hukum dalam hukum perdata. Dalam perkembangannya penyuapan di sektor privat kemudian juga diatur dalam hukum publik melalui hukum pidana. Jauh sebelum Indonesia menandatangani dan meratifika UNCAC, Indonesia telah memiliki UndangUndang No. 11 Tahun 1980 tentang Tindak Pidana Suap (UU Suap) yang mengatur mengenai delik penyuapan aktif dan pasif terhadap subjek di luar Undang-Undang No. 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang telah dicabut dan digantikan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 (UU Tipikor). Dalam Pasal 2 diatur mengenai larangan bagi setiap orang untuk melakukan penyuapan kepada pihak lain dengan maksud pihak yang disuap mau untuk melakukan atau tidak melakukan kewajibannya yang merugikan kepentingan umum. Sedangkan dalam Pasal 3 diatur mengenai ketentuan pidana yang ditujukan kepada pihak yang menerima suap tersebut.
Berdasarkan ketentuan penyuapan sektor privat yang diatur saat ini, dapat dikatakan bahwa saat ini Indonesia tidak memiliki model pendekatan pengaturan penyuapan di sektor privat yang jelas. Di satu sisi Indonesia menerapkan model pertama dimana hukum pidana bukan berfungsi untuk memberantas delik penyuapan di sektor privat, hal ini dapat dilihat dari keberadaa Arrest Lindenbaum-Cohen tahun 1919. Di sisi lain keberadaan UU Suap dan Pasal 6 ayat (1) huruf b UU Tipikor dapat dimaknai bahwa Indonesia juga menerapkan model ketiga dimana pengaturan delik penyuapan di sektor privat dalam undang-undang pidana dipergunakan sebagai sarana untuk melindungi kepentingan umum dan pemberantasan korupsi. Penilaian dan rekomendasi dari penerapan UNCAC menghendaki adanya perubahan model pendekatan yang dipergunakan menjadi model ketiga dimana peran hukum pidana lebih melalui kriminalisasi yang dilakukan untuk melindungi kepentingan umum. Lebih lanjut KPK merupakan lembaga negara yang bersifat independen dalam menangani permasalahan korupsi. Berdasarkan Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (UU KPK), KPK memiliki tugas untuk melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, supervisi terhadap instansi yang berwenang melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi, melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi, melakukan tindakan-tindakan pencegahan tindak pidana korupsi, dan melakukan monitor terhadap penyelenggaraan pemerintahan negara. Akan tetapi KPK tidak berwenang untuk melakukan tindakan pemberantasan, pencegahan dan monitoring terhadap penyuapan di sektor privat karena hal tersebut tidak masuk dalam lingkup tindak pidana korupsi yang dimaksud dalam UU Tipikor. Hal ini juga mengindikasikan bahwa kebijakan hukum pidana mengenai penyuapan di sektor privat di Indonesia saat ini masih belum ditempatkan sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. Baik pengaturan delik ini masih dipisahkan dari UU Tipikor sehingga KPK tidak bisa menjangkau tindak pidana ini dan penindakan hukumnya merupakan kewenangan institusi penegak hukum lainnya di luar KPK.

Kebijakan Hukum Pidana Penyuapan di Sektor Privat di Singapura, Malaysia dan Korea Selatan 
Sama halnya dengan Indonesia, baik Singapura, Malaysia dan Korea Selatan telah mengkriminalisasi perbuatan penyuapan di sektor privat sebelum ketiga negara tersebut meratifikasi UNCAC. Bagi ketiga negara tersebut, kriminalisasi penyuapan di sektor privat semata bukan hanya berfungsi untuk melindungi kepentingan ekonomi negara saja tetapi berfungsi untuk menyelesaikan permasalahan korupsi dimana ketiga negara tersebut memiliki anatomi korupsi yang berbeda. Bagi Singapura korupsi di sektor publik bukan menjadi permasalahan utama melainkan perilaku korup yang dilakukan oleh sektor privat termasuk perilaku penyuapan yang dilakukan antar sektor privat. Hal ini akan merusak iklim investasi di Singapura dan merusak kepercayaan publik terhadap sektor privat terutama yang memberikan pelayanan publik. Berbeda dengan Malaysia dan Korea Selatan yang permasalahan korupsi di kedua negara tersebut masih mencangkup korupsi di sektor publik dan sektor privat. Di Malaysia, sektor privat tidak lagi diposisikan sebagai korban. Saat ini terjadi perilaku korup dan kolutif antara sektor privat dengan sektor publik di bidang pengadaan, konstruksi dan pembangunan dimana penyuapan terjadi dari korporasi kepada rekanannya guna menyelesaikan pekerjaan yang telah diperoleh atau dimenangkan oleh korporasi. Di Korea Selatan, perkembangan dan pembangunan ekonomi tidak dapat dilepaskan dari korupsi yang terintegrasi melalui hubungan antara pejabat pemerintah, institusi keuangan dan konglomerasi. Pemberian gratifikasi berupa makan, minuman mahal dan fasilitas golf telah menjadi bagian penting dalam kegiatan bisnis dan hal tersebut menjadi sarana untuk membangun hubungan antara pebisnis, pejabat pemerintah dan jurnalis yang mana ini dipandang menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis ekonomi di Korea Selatan.13 Oleh karenanya bagi ketiga negara tersebut pemberantasan korupsi di sektor privat dipandang sama pentingnya dengan pemberantasan korupsi di sektor publik. Memang Singapura, Malaysia dan Korea Selatan merupakan negara dengan sistem hukum yang berbeda. Bagi Singapura dan Malaysia yang merupakan negara dengan sistem hukum common law system, pembentukan hukum bersumber dari putusan-putusan pengadilan yang menjadi yurispudensi dan selain itu pembentukan hukum juga dilakukan melalui undang-undang. Berbeda dengan Korea Selatan yang merupakan negara dengan sistem hukum civil law system pembentukan hukum dilakukan melalui undang-undang yang terkodifikasi dan yurispudensi sebagai tambahan. Hal ini akan berpengaruh dalam pengaturan mengenai penyuapan di sektor privat di ketiga negara tersebut. Kriminalisasi penyuapan di sektor privat pertama kali di Singapura dan Malaysia dilakukan melalui Putusan Pengadilan dalam perkara Lim Kheng Kooi & Anor v Regina [1957] MLJ 199. Dalam putusan tersebut pemberian uang dinyatakan bertentangan dengan undang-undang karena dipandang sebagai perbuatan korup yang dilakukan dengan pikiran dan niat jahat sehingga akan diikuti dengan perbuatan yang salah. Putusan ini kemudian menjadi yurispudensi di kedua negara tersebut. Khusus di Singapura good practice penindakan atas delik penyuapan di sektor privat juga dapat dilihat pada putusan perkara Public Prosecutor v Chan Kit Tong Sally [1991]1 MLJ 358 yang menyatakan bahwa pemberian uang dibawah meja sebagai biaya tambahan untuk pemesanan apartemen kepada pegawai di sektor privat dipandang sebagai gratifikasi dan perbuatan yang salah.14 Kemudian di Singapura dan Malaysia delik tersebut diatur dalam suatu undang-undang yaitu di Singapura melalui Prevention of Corruption Act, 1993 dan di Malaysia melalui Malaysian Anti-Corruption Commission Act, 2009. Di Korea Selatan delik penyuapan di sektor privat diatur dalam South Korean Penal Code, 1995 yang merupakan suatu kodifikasi. Selain itu terdapat lex specialist yang secara khusus mengatur mengenai delik penyuapan dalam institusi keuangan yaitu the Aggravation of Punishment of Specific Economic Crimes Act dan The Anti-Corruption and Bribery Prohibition Act atau yang lebih dikenal dengan Kim Young-ran Act, 2016 yang mengatur mengenai pemberian gratifikasi.

Sumber:
Vidya Prahassacitta. 2017. Tinjauan atas Kebijakan Hukum Pidana Terhadap Penyuapan di Sektor Privat dalam Hukum Nasional Indonesia: Suatu Perbandingan dengan Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan. Jurnal Hukum & Pembangunan 47 No. 4 (2017): 396-420

Hariadi, Tunjung Mahardika. 2013. Perbandingan Penanganan Tindak Pidana Korupsi di Negara Singapura dan Indonesia. Volume 2 No. 3 (2017)

Komentar

Postingan populer dari blog ini